Menurut keterangan dari Juru Kunci Gunung Ketra Kaswadi Nama Betawi berasal dari dua hal yakni BET-AWI,artinya konon pasukan Mataram dan sekutunya dari Tanah Sunda dalam mengepung dan membuat kubu - kubu pertahanan untuk mengepung Benteng VOC mereka menebang ratusan atau ribuan rumpun bambu (awi).
Sebagian dari tebangan bambu tersebut dipakai untuk cerucuk membendung Sungai Cihaliwung.
Jadi nama Betawi berasal dari kata " Bet Awi -Bet Awi dei",atau berhari-hari bekerja menebangi bambu.
Bau Tai,konon akibat pengepungan yang lama dan dan dibendungnya sungai Cihaliwung mengakibatkan pasukan VOC kelaparan,kehabisan peluru dan menderita sakit kolera,untuk melawan pasukan Mataram tentara yang mempertahankan benteng menggunakan berbagai barang untuk dijadikan peluru dan senjata.
diantaranya adalah mayat-mayat temannya yang mati karena sakit kolera dan bahkan kotoran dan air kencing manusia dijadikan peluru utama dimulut meriam untuk memukul mundur pasukan Mataram.
Konon peluru dari kotoran manusia itulah yang paling ditakutkan oleh pasukan Mataram, selain menjijikkan dan memabukkan juga membuat mereka tertular penyakit kolera yang sama, medan perang yang menjijikkan dan berbau kotoran manusia seperti itu membuat pasukan Mataram sulit menguasai benteng hingga mengalami kekalahan.
Setelah mengalami kekalahan yang ke dua kali, kekhawatiran akan memperoleh hukuman dari Sultan Agung menyebar dikalangan para prajurit dan Senopati, akhirnya dengan karena berbagai alasan terutama prajurit Sunda memutuskan untuk memberontak dan memisahkan diri dari Mataram dibawah pimpinan Dipati Ukur.
Demikian pula dengan Ki Jaketra dia memilih ikut memisahkan diri dari Pasukan Mataram dengan membawa diam-diam sebagian harta kekayaan nya yang dahulu dia sembunyikan yang bisa dia bawa dan untuk menyembunyikan diri disuatu tempat yang jauh dari Batavia atau Mataram.
Tersebutlah akhirnya Ki Jaketra sampailah ditanah Daya Luhur, sebuah wilayah yang menjadi tempat laluan jalan darat utama antara Kerajaan Mataram dengan Wilayah Sunda, disebuah tempat yang sepi di lereng Gunung Satangtung atau Gunung Puntang.
Kehidupan Ki Jaketra diakhir masa tuanya tidak banyak diketahui, karena dia bergaul dengan masyarakat sederhana yang jumlahnya tidak banyak dan menikmati hari tuanya dengan tenang juga dikenali sebagai orang yang kaya,dermawan serta berilmu tanpa diketahui tentang latar belakang kehidupannya dimasa lalu.
Akhirnya menjelang usia kematiannya,dia memanggil seorang penduduk kepercayaannya yang dahulu membantunya bertempat tinggal di lereng Gunung Satangtung dan menceritakan bahwa nama dirinya adalah Pangeran Jaketra Jaya Winangun Sari.
Dia berpesan dikarenakan dia tidak memiliki keturunan ditempat itu maka dia berjanji (sasanggup) akan selalu "niten ngawijen" memberkati dan mengabulkan serta membantu kepada siapapun yang memelihara dan memohon kepada diri tentang urusan harta benda.
Dia memberitahukan bahwa dia telah menyimpan harta yang dibawanya ditempat-tempat tertentu di Gunung tersebut,Dia juga berpesan agar kuburannya dipelihara sebab kelak suatu saat akan banyak orang dari jauh yang akan mencari kuburan dirinya.
Keluarga penduduk yang dimaksud itulah yang hingga sekarang masih menjadi juru kunci kuburan Ki Jaketra.
Keberadaan Kuburan Ki Jaketra akhirnya menjadi perubahan dalam kehidupan penduduk selanjutnya, berkat kemakmuran dan kesejahteraan yang didapatkan era itu,Kampung itu kemudian disebut Kampung Jaketra dan selanjutnya disebut Kampung Ketra.
Seiring waktu gunung tersebut pun namanya dikenali dengan Gunung Ketra,serta mata air yang mengalir dari tepi Kuburan Ki Jaketra kemudian dikenali sebagai Sungai Ciketra.
Dan sampai masa tiga puluh atau limapuluh tahun yang lalu,Gunung Ketra adalah salah satu tempat yang menjadi pusat ziarah masyarakat di Desa Datar dari berbagai penjuru terutama yang bermaksud mendapatkan kesejahteraan dan berkah kekayaan.
Bahkan banyak orang yang berpikiran ingin memperoleh harta kekayaan dengan cara-cara yang menyimpang.
Ceceng juga mengungkapkan Kondisi Dan Keberadaan makam Ki Jaketra sekarang sungguh sangat menyedihkan,sangat jauh dari perkiraan dan "nama besar" serta nilai-nilai sejarah Gunung Ketra sebagai keramat sekaligus situs sejarah.
Ditambah dengan "kesalahan" administrasi pertanahan,tanah Keramat Jaketra Jaya yang tadinya memiliki status tanah keramat atau pesarean kini telah berubah menjadi tanah kebun milik penduduk. Pohon-pohon disekitar keramatnya akhirnya ditebangi dan berubah menjadi kebun.
“Konon banyak peziarah yang datang,menangis melihat kondisi makam Keramat Ki Jaketra sekarang yang sangat berbeda dengan kondisi dimasa lalu yang sangat terpelihara.”Ungkapnya
Bahkan menurut Juru Kunci Gunung Ketra Kaswadi mengatkan dirinya merasa tidak berdaya,karena status tanah Keramat itu bukan miliknya sendiri.
Lokasi tanah makam Ki Jaketra tidak terdaftar sebagai tanah desa karena secara hukum tanah keramat tersebut memiliki surat kepemilikan,hanya berdasarkan adat dan kesadaran serta kepercayaan masyarakat semata.
Ketika kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai budaya menurun dan melupakan sejarah serta kebijakan pemerintah yang tidak melindungi kondisi situs dan makam leluhur dari diklaim penduduk,maka bisa dipastikan tempat seperti itu akan hilang nilai budaya nya,bahkan hilang makamnya.
“Gunung Ketra Kondisinya paling menyedihkan diantara semua kondisi keramat yang ada di Dayeuhluhur. “Pungkasnya
Dijelaskan dirinya sudah sepuluh tahun mempelajari kondisi serta nilai-nilai sejarah Gunung Ketra yang menurut hasil pengamatan atau berdasarkan dokumen-dokumen dari era Hindia Belanda.
Gunung Ketra dan semua legendanya adalah salah satu tempat yang bisa membuka Sejarah panjang riwayat Daya Luhur yang telah ratusan tahun tertutup misteri.
Tetapi fakta serta kondisi legenda Gunung Ketra dimasa lalu yang konon menyimpan berkubik-kubik harta untuk kesejahteraan masyarakatnya sehingga berduyun-duyun berziarah,kini hanya dinilai dengan batangan pohon yang diantaranya ditanam diatas kubur para leluhur.
Keramat-keramat yang berada dipuncak Gunung Ketra telah berada di Hutan Pinus milik perhutani,dan keramat yang dilereng berada dalam lahan milik penduduk (red.01)
Narasumber :
1. Ceceng Rusmana Pegiat Situs sejarah dan Ketua Adat budaya Dayeuhluhur
2. Juru Kunci Gunung Ketra Kaswadi ( 48 th)
3. Juru Kunci Desa Datar Aki Dahuri ( 90th)
4. Raswin Tokoh Masyarakat sekaligus Keturunan Juru Kunci Gunung Ketra (63th)