Banner

Diskusi di UNIKMA, Guru Gembul dan Prof. Aziz Soroti Fenomena Pesantren Masa kini

Redaksi
Jumat, 31 Oktober 2025
Last Updated 2025-10-31T01:20:28Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 

Guru Gembul saat menyampaikan paparan Fenomemena Pesantren dalam Diskusi Hari Santri Nasional 2025 di UNIKMA Cilacap. Kamis (30/10/2025).


CILACAP, HARIANCILACAP-Universitas Komputama (UNIKMA) Cilacap, Jawa Tengah, menggelar mimbar Diskusi Hari Santri Nasional 2025 Kamis (30/10/2025).


Diskusi  bertemakan ‘Warna-Warni Pesantren dan Iramanya’ menghadirkan dua tokoh  Kreator konten yang tengah viral yakni Guru Gembul dan Prof. Dr. Fathul Aminudin Aziz, MM Dewan Penyelenggara UNIKMA dipandu rektor UNIKMA, Dr Fikria Najitama, M.S.I,


Dalam diskusi itu, Guru Gembul dan Prof. Dr. Fathul Aminudin Aziz membahas tentang posisi pesantren dalam sejarah Indonesia, tantangan modernisasi, dan peran pemerintah terhadap lembaga pendidikan Islam.


Dalam paparannya Guru Gembul mengungkapkan bahwa pesantren merupakan tonggak awal lahirnya masyarakat literasi di Indonesia.Pesantren adalah lembaga pertama yang memberikan kesempatan belajar bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kasta atau agama.


Pesantren masa awal berperan besar dalam membangun peradaban bangsa. Dari Gresik hingga Cirebon, pesantren menjadi pusat dakwah, pengobatan, dan pengembangan masyarakat.


Namun, ia menilai bahwa semangat itu mulai luntur dan mengkritik fenomena sebagian pesantren yang dinilainya menyimpang dari semangat awal dengan mengemis, meminta-minta donasi di media sosial sangat memprihatinkan.


Prof. Dr. Fathul Aminudin Aziz, MM Dewan Penyelenggara UNIKMA saat pemaparan Diskusi


“Dulu pesantren memberi kontribusi. Sekarang ada yang malah meminta. Itu penyimpangan dari jati diri pesantren sebagai lembaga yang membangun kemandirian umat,” tegasnya.


Dikatakan walaupun Kritiknya sempat, membuatnya diboikot  bahkan mendapat ancaman. Meski demikian, ia menegaskan kecintaannya terhadap pesantren.


“Saya bukan benci pesantren. Saya mencintainya. Tapi saya tak ingin pesantren dirusak oleh oknum yang mengatasnamakan agama demi keuntungan pribadi,” ucapnya di hadapan peserta diskusi.


Guru Gembul mencontohkan pesantren El-Bayan dan El-Muslim di Cilacap sebagai contoh pesantren ideal yang menjaga nilai luhur gotong royong dan kemandirian ekonomi.


“Inilah pesantren yang nyata. Pesantren yang berdampak sosial, menurunkan angka kriminalitas di sekitarnya, dan menginspirasi masyarakat untuk mandiri,” pungkasnya.


Ia berharap pesantren dapat menjadi lembaga yang berdampak pada masyarakat sekitar dan menginspirasi kemandirian.




Sementara itu, Prof. Aziz menyoroti faktor struktural di balik kemunduran pesantren, termasuk lemahnya peran negara dan ketimpangan alokasi anggaran.


Ia menekankan bahwa pesantren harus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai tradisi dan perlu pendekatan baru berbasis seni, teknologi, dan intelektualitas.


“Kalau pondok pesantren asli masih meminta-minta di jalan, berarti peran pemerintah belum maksimal. Negara belum benar-benar menjalankan amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat,” kata Prof Aziz.


Prof. Aziz juga menyoroti ketimpangan alokasi anggaran dan birokrasi pendidikan yang meminggirkan pesantren. Ia menegaskan bahwa pesantren seharusnya menjadi lembaga paling dihormati karena hadir lebih dulu daripada negara.


“Kenyataannya, pesantren hanya ditempelkan pada Kementerian Agama, bahkan satu fakultas di perguruan tinggi bisa lebih besar anggarannya daripada seluruh pesantren,” ungkapnya dengan nada kritis.


Di lain sisi,  pesantren harus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai tradisi.


Kalau Guru Gembul menyebut pesantren sejati adalah yang berdampak pada masyarakat sekitar, mendorong kemandirian ekonomi dan moral.


Sementara Dirinya  menekankan pentingnya pendekatan baru berbasis seni, teknologi, dan intelektualitas.


“Pesantren harus berani membuka akalnya. Kalau dunia sudah menafsirkan Al-Qur’an dengan kecerdasan buatan, maka kita jangan tertinggal,” jelasnya.


Lebih lanjut Prof. Amin  memaparkan karyanya, kitab Jauharul Idarah, sebagai upaya mendorong kemampuan berpikir kritis di kalangan santri. Ia berharap pesantren mampu menyeimbangkan antara tradisi, akal, dan iman.


“Boleh tradisi dijaga, tapi akal jangan berhenti bergerak. Santri boleh ngesot, asal pikirannya tidak ikut diam,” ucapnya disambut tawa peserta.


Prof. Aziz menambahkan perbedaan pandangan harus disinergikan, bukan dipertentangkan. Dari konflik dan dialektika, harapannya justu akan lahir kemajuan baru bagi pesantren dan bangsa.(red01)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Portal Karangpucung